Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur”. (QS. 2/185)
Telah terdapat riwayat, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
pernah keluar pada hari raya Idhul Fithri, beliau bertakbir, ketika mendatangi
mushalla sampai selesainya shalat, apabila shalat telah selesai, maka beliau
menghentikan takbirnya.” [1].
Berkata Syaikh Al Albani : “Dalam hadits ini ada dalil
disyari’atkannya melakukan takbir dengan suara jahr (keras) di jalanan ketika
menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak
dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini
sekedar menjadi berita.”
Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah
bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari’atkan berkumpul atas satu suara
(menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana
dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan
untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan
suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah
disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut, dan hendaklah kita
selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuknya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Waktu-Waktu Bertakbir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada
dua hari raya (kapan kaum muslimin diperintahkan takbir di kedua hari raya –
pent), maka beliau rahimahullah menjawab: “Segala puji bagi Allah, pendapat yang
paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari
kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah: Hendaklah takbir
dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal
11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan
disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika
keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat”. [2]
Ibnu Umar dahulu apabila pergi keluar pada hari raya Idhul
Fithri dan Idhul Adha, beliau mengeraskan ucapan takbirnya sampai ke mushalla,
kemudian bertakbir sampai imam datang. [3].
Ucapan beliau rahimahullah: ‘(dilakukan) setelah selesai
shalat’ -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan
pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan
Imam Bukhari dalam kitab ‘Iedain dari “Shahih Bukhari” 2/416 : “Bab Takbir pada
hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah”.
Umar Radliallahu ‘anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina.
Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan
bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan
suara takbir.
Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan
setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di
tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.
Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita
bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam
hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid.
Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan
takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang
imam. [4]
Tata Cara dan Ucapan Bertakbir
Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih
tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan
dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.
Seperti Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh :
Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa
lillahil hamdu. (Yang artinya) : “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan
untuk Allah segala pujian”. [5]
Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh : Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajallu Allahu
Akbar ‘alaa maa hadanaa. (yang artinya) : “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha
Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita”. [6]
Abdurrazzaq - dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam “As Sunanul
Kubra” (3/316) - meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al- Khair
Radliallahu anhu, ia berkata : (yang artinya) : “Agungkanlah Allah dengan
mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira”.
Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan
dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat
tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam
“Fathul Bari (2/536): “Pada masa ini telah diada-adakan suatu tambahan dalam
dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya”.
Ucapan Selamat Hari Raya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat
pada hari raya maka beliau menjawab [7]: “Ucapan pada hari raya, di mana
sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Id:
Taqabbalallahu minnaa wa minkum (yang artinya): Semoga Allah menerima dari kami
dan dari kalian” Wa ahaalallahu ‘alaika.
Dan ucapan selainnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok
sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk
melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata:
“Aku tidak pernah memulainya mengucapkan selamat kepada seorang pun, namun bila
ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya, karena menjawab
tahiyyah (ucapan selamat) hukumnya wajib. Adapun mendahuluinya, dengan
mengucapkan tahniah (ucapan selamat) bukanlah sunnah yang diperintahkan dan
tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan
siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.” [8]
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar [9] : “Dalam ‘Al Mahamiliyat’
dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya): Para
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka
berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minkum
(Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa
Muhammad bin Ziyad berkata: “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan
selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila
kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain:
Taqabbalallahu minnaa wa minka.”
Imam Ahmad menyatakan: “Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)”
[10]
Adapun ucapan selamat : (Kullu ‘aamin wa antum bikhair) atau
yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak
diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah (yang
artinya) : “Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik.?”
Catatan Kaki:
[1]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf, al Muhamili dalam
Shalatul ‘Idain dengan sanad sahih tetapi mursal. Riwayat tersebut memiliki
syahid/penguat yang menguatkan riwayat tersebut. Lihat Silsilah al Ahadits ash
Shohihah (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan
shalat Id
[2]
Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat ‘Subulus Salam’ 2/71-72
[3]
HR Ad Daraquthni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dengan sanad yang
shahih. Lihat Irwa ‘ul Ghalil 650
[4]
Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad
yang shahih. Lihat “Irwaul Ghalil’ 650
[5]
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih
[6]
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih
[7]
Majmu Al-Fatawa 24/253
[8]
Dicantumkan Jalaluddin As Suyuthi menyebutkan dalam risalahnya ” Wushul Al Amani
bi Ushul At Tahani” beberapa atsar yang berasal lebih darisatu ulama Salaf, di
dalamnya ada penyebutan ucapan selamat. Kitab itu dicetak bersama ; Al Haari lil
Fatawa 1/81-82, merujuklah padanya. Lihat pula al Maudhu’ fi Ma’rifatul Hadits
al Maudhu’ oleh Al ‘Allamah ‘Ali al Qaari (87) dengan ta’liq muhaqiq
atasnya
[9]
Fathul Bari 2/446
[10]
Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam ‘Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya
hasan