mari..tunaikan hak Alquran


Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam bukunya At-Tibyân fi Ulûm Al-Qur`ân mengutip ucapan Ibnu Taimiyah perihal kewajiban seorang Muslim terhadap al-Qur`an. Kata Ibnu Taimiyah: “Barangsiapa yang tidak membaca al-Qur`an ia telah meninggalkan al-Qur`an; barangsiapa yang membaca al-Qur`an namun tidak merenungi kandungan-kandungan maknanya berarti ia juga telah meninggalkan al-Qur`an; dan barangsiapa yang membaca al-Qur`an serta merenunginya namun isinya tak ia amalkan sama saja ia telah meninggalkan al-Qur`an.”

Ucapan tersebut mengandung desakan serius kepada umat Islam untuk serius menjadikan al-Qur`an sebagai pegangan kehidupan dalam hal apapun juga. Al-Qur`an tidak boleh kita kenal hanya di bulan Ramadhan namun dalam tiap langkah dan waktu.

Kesimpulan dari ungkapan tersebut ada tiga hal; membaca, merenungi/memahami, dan mengamalkan.

Pertama, membaca al-Quran. Rasanya ada yang kurang pas ketika seorang muslim belum mampu membaca kitab suci ini dengan baik dan benar sesuai kaidah tajwid. Imam Nawawi mengatakan, “Membaca Al-Quran itu lebih utama dari membaca tasbih, takbir, dan dzikir-dzikir lainnya.” Pendapat ini selaras dengan bunyi hadits Nabi SAW: di antaranya, “Keutamaan firman Allah atas seluruh kalam, seperti keutamaan wujud Allah dibanding mahkluk-Nya.” (HR. Darimi).

Keutamaan tersebut berwujud: “Orang yang membaca al-Quran memperoleh kebaikan dari tiap huruf yang dibacanya (HR. Turmudzi). “Orang yang membaca al-Quran, kelak kedua orangtuanya akan diberi mahkota oleh Allah apalagi bagi yang membacanya." (HR. Abu Dawud). “Orang yang membaca Al-Quran, tidak akan dihinggapi kegalauan yang maha dahsyat di hari kiamat." (HR. Thabrani).

Selain itu, para salafus shaleh telah memanggungkan keteladan akan keakraban mereka dengan al-Quran. Seperti terlampir dalam kitab Hayât Ash-Shahâbah, disebutkan di dalamnya permintaan wasiat dari Sayidina Abu Dzar Al-Ghifari kepada Nabi SAW. “Ya Rasulullah, berilah aku wasiat.” Rasul berkata, “Bertakwalah kamu kepada Allah! Sebab ia adalah pusat segala urusan.” Abu Dzar berkata kembali, “Tambahkan lagi, wahai Rasulullah.” Rasul mengatakan, “Bacalah Al-Qur`an! Ia merupakan cahaya untukmu di dunia dan simpanan bagimu di akhirat.”

Sayidina Utsman bin Affan memberikan keteladanan lain. Beliau mengatakan, “Aku tidak suka berada di suatu hari dan malan kecuali aku isi dengan membaca al-Qur`an.” Beliau juga pernah mengucapkan, “Jika hati kalian itu bersih, tentu kalian tidak akan pernah merasa puas dalam membaca al-Qur`an.” Diriwayatkan bahwa beliau wafat sedang mushaf miliknya dalam keadaan kucel karena seringnya beliau membacanya.

Sayangnya, masih banyak sebagian umat Islam yang belum bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar. Beragam alasan dikemukakan dari orang yang belum pandai membaca al-Quran. Ada yang mengatakan menunggu naik haji dulu, baru belajar. Ada yang merasa putus asa. Ada pula yang menanti waktu tua untuk belajar membaca al-Quran.

Celakanya lagi, anak-anak umat Islam lebih akrab dengan senandung syair-syair lagu yang mengajak kepada perbuatan mesum dan cabul. Surat al-Quran berganti surat kepada si ‘pacar’. Ayat Al-Quran terdesak dan berganti bait-bait lagu. Putra-putri umat Islam lebih heboh menonton konser musik, rela berdesak-desakan, bahkan rela mati demi sang artis pujaan tinimbang menyimak al-Quran di televisi, radio, maupun acara-acara di hari Besar Islam.

Sebuah riset yang dilakukan oleh salah satu lembaga Islam, seperti dimuat di situs hidayatullah.com, mengemukakan hasil yang mencengangkan. Disebutkan dari jumlah penduduk Jakarta saja yang 80 persen beragama Islam, 70 persen saja yang bisa baca huruf hijaiyah dan itupun yang hanya bisa membaca alif, ba, ta, tsa secara terputus.

Kedua, merenungi makna dan isi kandungan al-Qur`an. Setelah kemampuan membaca telah membaik maka di tingkat selanjutnya adalah memahami dengan sebaik-baiknya. Upaya memahami ini penting ditekankan supaya ia menjadi sumber utama dalam mengambil kebijakan di segala situasi. Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?.” (QS. Muhammad: 24).

Ayat ini menjadi sindiran kepada kita, apakah hati telah begitu mengeras, tertutup oleh kepongahan sehingga enggan dan tidak berusaha untuk merenungi kandungannya, saling menyuruh dalam kebaikan dan mencegah dalam kemunkaran seperti yang tertera di dalam al-Qur`an.

Dengan merengunginya, kita dapat mengenal kebenaran lalu kita ikuti dan mengetahui kebatilan lantas menjauhinya. Dengan memahaminya, kita dapat mengetahui mana kesesatan dan petunjuk yang benar.

Ketiga, mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Belumlah cukup kemampuan memahami tanpa dibarengi usaha pengamalan. Sebagai kitab Allah, al-Quran wajib diamalkan di tiap rumah, kantor, tempat pendidikan, dan di semua sektor.

Dalam sabdanya Nabi berpesan: “Barangsiapa berkata berdasarkan al-Quran, benarlah dia. Barangsiapa beramal berdasarkan al-Quran, layak diberi pahala. Barangsiapa memutus sesuatu bersandar pada al-Quran, ia berlaku adil. Barangsiapa berseru kepada al-Quran, ia terbimbing ke jalan yang lurus.” (HR. Turmudzi).

Pertanyaannya sekarang adalah, kapan kita akan mengamalkan al-Qur`an jika kita tidak memahami dan merenungi kandungannya, dan kapan kita akan memahaminya sementara ada di antara diri kita belum mampu membaca al-Quran dengan baik dan benar? Wallahu A`lam Bis Shawaab.