Hukum Wanita Shalat Berjamah


  Sebagian besar kaum muslimin menganggap, bahwa shalatnya kaum wanita bersama dengan kaum laki-laki secara berjamaah di masjid adalah sesuai dengan sunnah. Adapun kaum muslimatnya dengan kemauan yang kuat dari lubuk hati mereka senantiasa berusaha mendatangi masjid dan melaksanakan shalat berjamaah di dalamnya. Hal tersebut mereka lakukan tanpa mempedulikan berbagai macam masalah yang harus diperhatikan tatkala mereka keluar rumah. Banyak di kalangan mereka yang tidak mengetahui rambu-rambu yang hendak dipegang erat dalam urusan ini. Sering kita dapati, wanita-wanita muslimah keluar dari rumah dengan memakai pakaian yang “menarik” untuk diperhatikan kaum laki-laki.

Tua atau muda, terkadang tak begitu dipermasalahkan bagi mereka (kaum muslimat) akan bahaya dan fitnah yang muncul tatkala mereka keluar rumah. Yang tak kalah pentingnya lagi--untuk diketahui--, justru kaum muda muslimatnya lebih berani berpenampilan dengan pakaian yang ketat plus aroma parfum yang khas.

            Berbagai kenyataan tersebutlah yang membuat penulis merasa terpanggil dan tergugah untuk membahasnya berdasarkan as-sunnah dan atsar para salaf. Meskipun hanya sedikit yang penulis tuangkan dalam kertas ini, semoga dapat memberikan tambahan ilmu bagi penulis sendiri terutama dan kepada semua pembaca. Di dalam makalah ini penulis banyak menukil dari kitab Shalatul Jamaah, Hukmuha wa Ahkamuha yang ditulis oleh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan. Selain itu, penulis juga mengambil keterangan yang ada dalam kitab-kitab fiqih lainnya yang tidak tersebut di dalam Shalatul Jamaah. Semoga bermanfaat, selamat membaca.

Keluarnya Kaum Wanita ke Masjid

Ulama sepakat, bahwa kaum wanita tidak diwajibkan melaksanakana shalat fardhu secara berjamaah di masjid.[1] Akan tetapi hanya sekedar mubah, berdasarkan sunnah nabawiyah, bahwa pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam kaum wanita juga ikut shalat berjamaah di masjid.[2]
            Diriwayatkan dari A’isyah Radhiyallahu 'Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjalankan shalat Subuh diikuti kaum mukminat, mereka menyelimuti diri dengan kain lebarnya, kemudian masing-masing pulang ke rumahnya tanpa seorangpun yang mengenal mereka.[3]
            Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda:

(( لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمْ اْلمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ ))

Artinya,“ Janganlah kalian melarang kaum wanita mendatangi masjid, akan tetapi rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.”[4]
            Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:

(( لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاَتٍ ))

Artinya,“ Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang wanita mendatangi masjid-Nya, akan tetapi hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangiaan.”[5]
            Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Hadits ini dan yang serupa dengannya dalam bab ini, menunjukkan bahwa kaum wanita tidak dilarang untuk menghadiri shalat jamaah di masjid, akan tetapi dengan syarat--sebagaiman yang disebutkan oleh ulama--tidak memakai wangi-wangian, tidak berhias, tidak memakai gelang kaki yang akan terdengar suaranya, tidak pula pakaian yang tipis, tidak bercampur dengan laki-laki dan yang semisal dengannya yang dapat menimbulkan fitnah, tidak melintasi jalan yang dikawatirkan akan memicu munculnya fitnah dan terjadinya kerusakan. Larangan ini adalah makruh tanzih bagi wanita yangh sudah bersuami atau wanita tua, adapun bagi wanita yang selainnya maka adalah haram.”[6] 
Seorang wanita, tatkala ia pergi ke masjid maka hendaklah tidak memakai wangi-wangian dan dengan pakaian yang cukup aman dari fitnah, serta menghindari hal-hal yang akan memicu munculnya fitnah dan kerusakan. Sebagaiman yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda dal;am sebuah haditsnya:
(( أَيُّمَاامْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ ))
Artinya,“ Barangsiapa diantara kaum wanita yang memakai wangi-wangian maka jangnlah ia mengikuti shalat Isya’ yang terakhir bersama kami.”[7]
            Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebut kata “Isya’ yang akhir”, adapun yang dinukil dari al-‘Ashma’i bahwa dia berkata,”Adalah tidak benar ucapan manusia tentang “Isya’ yang akhir”, karena menurut kami Isya’ hanya sekali, maka tidaklah disifati Isya’ yang akhir. Perkataan ini adalah salah untuk hadits ini. karena telah tsabit (tetap) dari Rasiulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dalam Shahih Muslim dari banyak kalangan sahabat yang meriwayatkannya dengan “Isya’ yang akhir”, sedangkan lafadznya adalah masyhur.”[8]
Dari Zainab putri Abdullah berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berkata kepada kami:
(( إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا ))
Artinya,“ Jika salah seorang diantara kalian mengikuti jamaah di masjid, maka janganlah memakai wangi-wangian.”[9]
            Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
(( إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوْالَهُنَّ ))
Artinya,“ Jika wanita-wanita kalian meminta izin kepada kalian untuk keluar--pada malam hari--ke masjid maka izinkanlah mereka.”[10]
            Imam an-Nasai meriwayatkan, sebuah hadits dari Salim, dari ayahnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
(( إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا ))
Artinya,“ Jika wanita salah seorang diantara kalian meminta izin ke masjid, maka janganlah dilarang.”[11]
Berkata Aisyah Radiyallahu 'anha: Sekiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam mendapati apa yang terjadi pada kaum wanita, niscaya beliau akan melarang mereka pergi ke masjid. Sebagaimana kaum wanita bani Israil dilarang keluar.[12]
           
Pendapat Ulama
            Abu Hanifah dan dua muridnya berkata,” Wanita-wanita muda dimakruhkan menghadiri shalat jamaah (di masjid), mengingat dikawatirkan akan timbulnya fitnah. Akan tetapi bagi wanita tua tidak ,masalah menghadiri shalat jama’ah--baik Shubuh, Maghrib atau Isya--, karena orang fasiq (penimbul fitnah biasanya masih tidur pulas di waktu Shibuh dan Isya. Dan sibuk dengan makanan di waktu Maghrib.”[13]
Adapun pengikut Hanafiyah Mutaakhirin menyatakan,” Kaum wanita dimakryuhkan menghadirib shalat jama’ah meskipun untuk shalat jum’at, shalat ‘Ied dan majlis tausiyah, meskipun ia sudah tua dan perginbya di malam hari, karena telah rusaknya zaman dan munculnya kefasikan (secara mereta).”[14]
Ibnu Rusyd Rahimahullah menyatakan,” Menurutku kaum wanita dalam hal ini terbagi menjadi empat kelompok, yaitu;
1.       Wanita tua yang tidak lagi memiliki daya tarik terhadap laki-laki. Mereka ini tak ubahnya laki-laki, boleh mendatangi masjid kapanpun, begitu pula mendatangi majlis.
2.       Wanita yang laki-laki tidak tertarik kepadanya. Akan tetapi ketertarikan dankeinginan laki-laki kepadanya belum benar-benar hilang. Wanita tipe ini boleh keluar menghadiri jamaah shalat fardhu di masjid, maljis ilmu dan dzikir, tetapi tidak boleh terus-menerus.
3.       Wanita yanb tidak cantik, molek dan menarik adalah boleh keluar rumah mengadiri shalat jamaah fardhu di masjid atau menyaksikan jenazah salah satu kerabatnya saja.
4.       Wanita yang cantik, menarik dan molek. Wanita tipe ini boleh memilih, akan tetapi yang lebihuy baik baginya adalah tidak keluar ke masjid.”[15]
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah berkata,” Kaum wanita boleh keluar ke masjid tanpa memakai wanghi-wangian.”[16]
Imam al-Baghawi Rahimahullah berkata,” Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berkenaan dengan hal ini, menunjukkan bolehnya keluar ke masjid bagi kaum wanita dengan tanpa memakai wangi-wangian.”[17]
Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan,” Bagi wanita cantik, pemudi atau yang lainnya yang memiliki daya tarik adalah dimakruhkan menghadiri jama’ah shalat laki-laki, karena berpeluang besar akan timbulnya fitnah. Hendaklah mereka shalat di rumah. Tetapi selain mereka dibolehkan asalkan tanpa waangi-wangian dan atas izin suaminya, namun rumahnya adalaha tetap yang lebih baik.”
      Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan berkata,” Seorang wanita yang tidak memaki wangi-wangian, tidak tabarruj, tidak memakai pakaian yang berhias, tidak kawatir terjadinya fitnah, apabila meminta izin menghadiri masjid maka tidak pantas untuk dicegah akan tetapi rumah tetap lebih baik baginya.”[18]
      Syaikh asy-Syanqithi berkata,” Ketahuilah, bahwa ulama menghubungkan dengan wangi-wangian adalah memberikan makna yang semisal dengannya, seperti; perhiasan dzahir, suara gelang kaki, pakaian yang menarik, bercampur dengan laki-laki dan lainnya yang menimbulkanfitnah dengan membangkitkan syahwat bagi laki-laki, begitu pula dengan wajah. Sedang madzhab Syafi’iyah menghubungkan dengan pemudi secara mutlak, karena pemudi sebagai muara dari fitnah. Dan mereka mengkususkan bolehnya keluar ke masjid bagi kaum wanita tua. Maka secara dzahir bahwa seorang pemudi jika keluar dengan tertutup, tidak memakai wangi-wangian juga tidak memakai sesuatu yang lain dari penyabab munculnya fitnah adalah boleh keluar ke masjid menurut keumuman nash.”[19]
Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah disebutkan,“ Nash-nash hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam ini menunjukkan keterangan yang jelas bahwa wanita muslimah jika ia mengiltizami (melaksanakan) adab-adab Islam dalam berpakaian dan menghindari hal-hal yang akan menimbulkan fitnah atau dorongan nafsu bagi orang-orang yang lemah imannya kepada segala macam perezinaan, ia tidak dilarang shalat di masjid. Akan tetapi sekiranya--dengan keluarnya ia ke masjid--akan menimbulkan fitnah dan kejahatan, maka ia dilarang masuk masjid, bahkan juga dilarang keluar dari rumahnya, demikian pula dilarang menghadir acara-acara atau perkumpulan umum.”[20]

Dimana Sebaiknya Kaum Wanita Shalat

Seorang wanita diperbolehkan untuk menghadiri shalat jamaah bersama kaum laki-laki di masjid. Meskipun demikian, rumah mereka tetap yang lebih baik bagi mereka untuk melaksanakan shalat. Sebagaiman yang tersebut dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berikut:
Ummu Salamah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam, beliau bersabda:
(( خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوْتِهِنَّ ))
Artinya,“ Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah kamar dalam rumahnya.”[21]
Imam Abu Daud dan yang lainnya meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
(( صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَ صَلاَتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي بَيْتِهَا ))
Artinya,” Shalatnya seorang wanita di dalam kamarnya adalah lebih baik daripada shalatanya di bagian dalam rumahnya adalah lebih baik daripada shalatnya di dalam rumahnya.”[22]
Syaikh asy-Syanqithi berkata,” Ketahuilah, bahwa shalatnya kaum wanita di rumahnya adalah lebih utama daripada shalat mereka di masjid, meskipun itu masjid Nabawi. Adapun yang dimaksudkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam:
(( صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ ))    
Artinya,“ Shalat di masjidku ini adalah seribu kali lebih baik daripada shalat di selainnya, kecuali di Masjidil Haram.” khusus bagi kaum laki-laki, sementara bagi wanita maka shalat di rumah adalah lebih baik daripada shalat berjamaah di masjid.”[23]

Shalat Jama’ah sesama kaum Wanita

Kaum wanita disunnahkan mengadakan jamaah sendiri dengan imam yang paling aqra’ di antara mereka. Masalah ini tidak ada khilaf di dalamnya. Setiap shalat Fardhu ataupun  Nafilah yang mana kaum laki-laki diperintahkan agar mengadakan jama’ah, maka bagi wanita disyari’atkan pula.[24] Seperti ini adalah pendapat Ibnu Mundzir dari A’isyah, Ummu Salamah, Hammah, ‘Atha’, ats-Tsauri, al-‘Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan tiada seorangpun dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam yang menyelisihiya.[25]
Jamaah kaum wanita di rumah adalah lebih utama daripada kehadiran mereka di  masjid bersama kaum laki-laki. Hal ini selama tidak ada unsur larangannya dan bahaya di dalamnya. Karena inilah jika ada sekelompok wanita yang tinggal di rumah, sekolah, universitas ataupun rumah-rumah kontrakan maka disunnahkan bagi mereka untuk melaksanakan jama’ah shalat. Adapun imamnya boleh berdiri di depan atau di tengah shaff pertama, boleh juga mengeraskan suara dalam shalat jahriya, namu tetap menjaga dan memperhatikan kerendahannya, jika dimungkinkan ada laki-laki non mahram yang mendengarnya.[26]
Dari Ummu Waraqah al-Anshariyah Radiyallahu 'anha, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam menyuruhny agar menginmami keluarganya. Dalam riwayat Abdurrahman bin Khalid dari Ummu Waraqah juga disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda,”Mari bersama kami menziarahi syahidah, kemudian belkiau mengizinkannya untuk mengumandangkan adzan dan menjadi imam bagi keluarganya dalam shalat fardhu, ia adalah wanita yang sudah hafal al-Qur’an.[27]
Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan berkata,” Beberapa hadits dan atsar di atas adalah saksi nyata atas bolehnya kaum wanita mengadakan shalat jama’ah sendiri, ini adala pendapat Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Daud adz-Dzahiri dan para pengikutnya. Barangsiapa yang menentang pendapat ini dengan pendapat lain, maka perkataannya tertolak. Tiada dalil shahih yang menopangnya dan sangat bertolak belakang dengan sunnah shahihah lagi muhkamah yang jelas membolehkan kaum wanita megadakan jama’ah sendiri, apalagi telah jelas dalil umum yang menyatakan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
(( صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً ))
Artinya,“ Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendiri dengan 27 derajat.”[28]
Kiranya dalil ini cukup sebagai bantahan bagi mereka. Bagaimana mungkin mereka menyelisihinya, padahal hadits-hadits dan atsar yang shahih jalas-jelas telah mensyari’atkannya.[29]. [30]

Posisi Imam Wanita

Seorang wanita, apabila hendak menjadi imam sesama kaum wanita maka boleh baginya untuk berdiri di depan dan yang lebih utama adalah di tengah-tengah shaff. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh ummahatul mukminin.
Diantaranya adalah yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radiyallahu 'anha, beliau pernah mengimami kaum wanita dalam shalat fardhu--tepatnya shalat Maghrib--. Beliau berdiri di tengah shaff dan mengeraskan bacaanya.[31]
Dari Hujairah binti Husain, ia berkata,” Ibunda Ummu Salamah mengimami kami dalam shalat Ashar dan beliau berdiri diantara kami.[32]
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma, dia menyuruh budak perempuannya agar mengimami keluarganya yang wanita di beberapa malam bulan Ramadhan.[33]
Imam Ibnu Ishaq Rahimahullah berkata,” Menurut sunnah, imam seorang wanita adalah di tengah. Hal ini adalah sebagaiman yang dilakukan oleh ibunda ‘Aisyah dan Ummu Salamah Radiyallahu 'anhuma, bahwa keduanya mengimami dan berdiri di tengah.”[34]

Bolehkah Seorang Wanita Menjadi Imam Bagi Laki-laki
            Abu Ishaq berkata,” Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk shalat di belakang seorang wanita. Hal ini sebagaiman yang pernah dikatakan oleh sahabat Jabir Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkhutbah seraya bersabda:
(( لاَتُؤَمِّنُ الْمَرْأَةُ رَجُلاً ))
Artinya,” Janganlah seorang wanita itu mengimami laki-laki.” [35]
Seorang laki-laki jika shalat di balakang wanita dan tidak mengetahui--kalau yang menjadi imam adalah wanita--maka dia harus mengulangi shalatnya.[36]
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Hadits dari Jabir Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah and al-Baihaqi adalah lemah sanadnya. Sahabat  kami telah sepakat, bahwa seorang laki-laki--baik sudah baligh ataupun masih bayi--adalah tidak boleh untuk shalat di belakang wanita. Larangan ini adalah berlaku umum, baik shalat Fardhu, Tarawih maupun seluruh shalat Nafilah. Ini adalah madzhab kami, jumhur ulama salaf ataupun khalaf. Demikian juga Fuqaha yang tujuh, Fuqaha Madinah yaitu Tabi’in dan imam Malik, Abu hanifah, Sufyan, Ahmad dan Daud.”
Imam Abu Tsaur, al-Mazini dan Ibnu Jarir berkata,” Kaum laki-laki sah saja shalat di belakang wanita.”
Batallah shalat seorang laki-laki, yang shalat di belakang wanita. Adapun shalat wanita tersebut beserta kaum wanita yang di belakangnya adalah sah--dalam seluruh shalat, selain shalat Jum’ah--.[37]

Shaff Makmum yang Paling Baik
Shaff terdepan adalah shaff yang paling bagi kaum laki-laki dan terjelek bagi kaum wanita. Sebaliknya, shaff terbelakang adalah yang terjelek bagi kaum laki-laki dan terbaik bagi kaum wanita. Hal tersebut adalah keumuman maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam. Namun bagaimanakah sebenarnya maksud dari hadits tersebut, apakah jika jamaahnya kaum laki-laki bersama dengan kaum wanita berlaku hukumnya seperti itu ?. Dan bagaiman jika jamaah tersebut hanya kaum wanita saja ?.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam pernah bersabda:
(( خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا ))
Artinya,” Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah yang paling awal dan sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaff kaum wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jelaknya adalah yang paling awal.”[38]
            Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Shaff bagi laki-laki yang terbaik--secara umum-- adalah yang paling awal, selamanya. Sedangkan yang paling jelek adalah yang paling akhir, selamanya. Adapun bagi wanita, maka maksud dari hadits adalah shaff kaum wanita yang mengikuti shalatnya kaum laki-laki. Sementara kalau mereka shalat sendiri--sesama kaum wanita--, maka sebagaiman kaum laki-laki, yaitu sebaik-baik shaff mereka adalah yang paling awal dan sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir.
            Ketahuilah, bahwa shaff awal yang terpuji--sebagaimana tersebut dalam hadits--dan yang utama serta dianjurkan untuk dijaga adalah shaff setelah imam. Sama halnya, baik orang tersebut datang dahulu atau datang terakhir.”[39]

Kesimpulan
1.       Ulama sepakat, bahwa kaum wanita tidak diwajibkan melaksanakana shalat fardhu secara berjamaah di masjid. Akan tetapi hanya sekedar mubah, berdasarkan sunnah nabawiyah.
2.       Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam kaum wanita juga ikut shalat berjamaah di masjid.
3.       Kaum wanita tidak dilarang untuk menghadiri shalat jamaah di masjid, akan tetapi dengan syarat menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, tidak melintasi jalan yang dikawatirkan akan memicu munculnya fitnah dan terjadinya kerusakan.
4.       Seorang suami hendaknya memberi izin kepada istrinya untuk pergi ke masjid, jika tidak tabarruj, tidak memakai wangi-wangian dan terhindar dari hal-hal yang akan memicu fitnah.
5.       Sekiranya dengan keluarnya wanita ke masjid akan menimbulkan fitnah dan kejahatan, maka ia dilarang pergi ke masjid, bahkan juga dilarang keluar dari rumahnya untuk menghadiri acara-acara atau perkumpulan umum.
6.       Kaum wanita disunnahkan mengadakan jamaah sendiri dengan imam yang paling aqra’ di antara mereka.
7.       Seorang wanita yang menjadi imam, ia boleh berdiri di depan shaff ataupun di tengah-tengah shaff. Akan tetapi yang lebih utama adalah di tengah shaff, sebagaimana yang dicontohkan oleh Shahabiyah.
8.       Seorang wanita yang menjadi imam, ia boleh mengeraskan suaranyadalam shalat Jahriyah. Namun jika dimungkinkan kedengaran orang yang bukan mahramnya, hendaknya tidak mengeraskannya.
9.       Aeorang wanita tidak diperkenankan mengimami kaum laki-laki.
10.   Shaff kaum laki-laki paling depan adalah yang paling baik, sedang paling belakang adalah yang paling jelek.
11.   Shaff kaum wanita paling depan adalah yang paling jelek, sedang paling belakang adalah paling baik. Ini adalah apabila mereka berjamaah bersama kaum laki-laki.
12.   Apabila mereka (kaum wanita), berjamaah sesama kaum wanita, maka hukumnya adalah sebagaimana shaff laki-laki, yaitu paling utama adalah shaff yang paling depan dan yang paling jelek adalah shaff yang paling belakang.
Demikianlah sedikit mengenai “hukum shalat jamaah bagi kaum wanita” yang dapat kami tulis dalam makalah ini. Semoga bisa menambahkan pengetahuan bagi penulis terutama dan bagi semua pembaca umumnya. Atas segala masukan dan saran pembaca, sangat penulis harapkan. Akhir dakwah kami, segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala dan shalawat serta salam atas Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

                                                                                                 Penulis,
                                                                               
                                                                                                 Nurrohim



[1] Sa’dy Abu Duaib, Mausu’atul Ijma’: 2/622.
[2] Lihat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jamaah, hal. 177.
[3] HR al-Bukhari: 1/98.
[4] HR Abu Daud dalam kitabush-shalat bab. keluarnya kaum wanita ke masjid no. 567 dan al-Baghawi dalam kitabush-shalah bab. keluarnya kaum wanita ke masjid no. 864 dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ ash-Shaghir no. 7458, Shahih Abi Daud no. 576 dan Irwaul Ghalil no. 515.
[5] HR Abu Daud dalam kitabush-shlalah dalam kitabush-shalah bab. keluarnya kaum wanita ke masjid no. 565, ad-Darimi: Artinya: 1/293, al-Baihaqi: 3/134, Ahmad: 2/438, 475, asy-Syafi’I: 1/127, Ibnu Khuzaimah no. 1679, Ibnu Hibban no. 2214, Ibnul Jarud no. 334 dan al-Baghawi dalam kitabush-shalah bab. keluarnya kaum wanita ke masjid no. 860 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dan al-Bukhari dalam kitabush-shalah bab. keluarnya kaum wanita ke masjid no. 900 dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma. Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaid: 2/32-33,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam al-Kabir dari Zaid bin Khalid, sedang sanadnya adalah hasan juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, sedang rijalnya adalah shahih. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ ash-Shaghir no. 7457, Shahih Abi Daud no. 573 dan Irwaul Ghalil no. 515. Takhrijnya juga tersebut dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab: 4/172.
[6] An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin-Nawawi: 4/134-135.
[7] HR Muslim no. 143/444 dan al-Baghawi no. 861 dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalama Shahihul Jami’ ash-Shaghir no. 2702 dan al-Misykah no. 1061.
[8] An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin-Nawawi: 4/136-137.
[9] HR Muslim Bab. Keluarnya wanita ke Masjid no. 142/443, an-Nasa’I: 8/154, al-Baihaqi: 3/133, Ahmad no. 363, Abu Awanah: 2/59 dan ath-Thayalisi no. 1652.
[10] HR Al-Bukhari no. 865, Muslim no. 137/442 dan al-Baghawi no. 862.
[11] HR An-Nasa’I no. 707, hadits ini dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 319 dan Ghayatul Maram no. 201.
[12] HR Malik Kitabul Kiblah no. 467/15, al-Bukhari Kitabul Adzan Bab Menunggunya Manusia Berdirinya Imam yang ‘Alim hadits no. 869, Muslim no. 144/445 dan al-Baghawi: 249-250 no. 863.
[13] Fathul Qadir: 1/352.
[14] Fiqhul Islami wa Adillatuhu: 2/154. Lihat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jamaah, hal. 178.
[15] Syarah Shagir, ad-Durdir: 1/446-447. Lihat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jamaah, hal. 178.
[16] Lihat dalam ‘Aunul Ma’bud syarah Sunan Abi Daud: 2/273.
[17] Syarhus-Sunnah: 2/448.
[18] Lihat Fatawa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 29/296 dan Nailul Authar: 3/150.
[19] Tafsir Adhwaul Bayan: 6/237-238.
[20] Fatawa al-Lajnah ad-Daimah: 7/330-332 no. 873.
[21] HR Ahmad: 6/30, Ibnu Khuzaimah: 3/92 dan al-Baihaqi: 3/131.
[22] HR Abu Daud no. 570 dan al-Baghawi no. 875 dari sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhu. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ ash-Shaghir no. 3833, al-Misykah no. 1063, Shahih Abi Daud no. 579 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 343. Lihat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jamaah, hal. 178.
[23] Tafsir Adhwaul Bayan: 6/238.
[24] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab: 4/172.
[25] Ibnu Hazm, Al-Muhalla: 3/171-172. Lihat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jamaah, hal. 179.
[26] Lihat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalat Jamaah, hal. 177.
[27] HR Abu Daud: 1/161-162 kitabush-shalat bab Imamnya seorang wanita no. 592, al-Hakim dalam al-Mustadrak: 1/203, ad-Daruquthni: 1/403, al-Baihaqi: 3/130 dan shahih Ibnu Khuzaimah: 3/89 no. 1676 bab. 168.
[28] HR Malik Kitab Shalatil Jamaah Bab. Fadhlu Shalatil Jamaah ‘ala Shalatil Fadzdzi no. 290/1, al-Bukhari Kitaul-Adzan Bab. Fadhlu Shalatil Jamaah ‘ala Shalatil Fadzdzi no. 645 dan 649, Muslim Kitabul Masajid wa Mawadhi’ish Shalah Bab. Fadhlu Shalatil Jamaah ‘ala Shalatil Fadzdzi no. 249/650 dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah Kitab Shalatil Jamaah Bab. Fadhlul Jamaah no. 784.
[29] Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in: 3/357-358 dan Ibnu Hazm, Al-Muhalla: 3/171-174.
[30] Lihat Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jamaah, hal. 179.
[31] Al-Muhalla: 3/171.
[32] HR al-Baihaqi: 3/131, ad-daruquthni: 1/405 dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla: 3/171-172 hadits no. 319.
[33] Ibid, 3/173.
[34] Lihat al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab: 4/254.
[35] HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi: 3/90 dengan sanad yang lemah.
[36] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab: 4/222-223.
[37] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab: 4/223.
[38] HR Muslim no. 440, Abu Daud no. 678, at-Tirmidzi no. 224, an-Nasai: 2/93 dan Ibnu Majah no. 1000, lihat dalam Jami’ul Ushul fii Ahaditsir-Rasul: 5/606 no. 3862.
[39] An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin-Nawawi: 4/133-134.