KEWAJIBAN UMMAHAT BERILMU

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadilah : 11)
Beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca sebuah artikel yang berisi pentingnya seorang ummahat untuk berilmu. Dalam hal ini dikhususkan dalam hal agama, walaupun tidak mengesampingkan ilmu lainnya. Qodarullah dari tadi saya cari linknya ngga ketemu. Malah nemu artikel yang tak kalah menarik dan bermanfaat yaitu “Ilmu, Perhiasan Tak Ternilai Bagi Muslimah“.
Bila merujuk dari artikel tersebut diatas, betapa banyak contoh wanita sholih terdahulu yang terkenal dengan ke’alimannya. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang dididik dalam madrasah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang berilmu dan shalihah.  Bahkan ‘Aisyah merupakan guru dari beberapa shahabat, dan ia menjadi bahan rujukan mereka dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Hafshah bintu Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya, bacaan Al Qur’annya, dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.
Na’am, betapa pentingnya ilmu untuk kita miliki sebagai muslimah. Apalagi ketika sudah menjadi seorang ibu dimana keluarga adalah madrosah pertama bagi anak, dan ibu sebagai ustadzah/gurunya.  Satu hal yang cukup melekat di ingatan saya pada artikel yang entah kemana rimbanya itu, yaitu dengan berilmu maka -Insya Allah- kita akan menjadi lebih baik dalam mendidik anak kita. Apabila kita lalai dalam berilmu maka dapat terjadi kesalahan dalam mengajarkan sesuatu kepada anak kita -utamanya bila menyangkut masalah aqidah dan ibadah- dimana hal itu sudah seharusnya kita hindari.
Misalnya saja dalam mengajarkan doa sebelum makan. Bisa saja seorang ummahat mengajarkan doa Allahumma baarik lanaa fii maa rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban naar dan dengan bangganya memamerkan kemampuan hafalan doa anaknya tersebut. Padahal hal itu salah dalam kaidah agama karena hadits yang menyebutkan doa tersebut adalah hadits mungkar. Rasulullah -sholallahu ‘alaihi wasallam- sendiri dalam satu hadits shahih menuntunkan doa sebelum makan adalah “bismillah”, sebagaimana dalam hadits berikut :
Dari ‘Umar bin Abi Salamah, ia berkata, “Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ » . فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِى بَعْدُ
“Wahai Ghulam, bacalah “bismillah”, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.” Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu. (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)
Kemudian contoh lain bila anaknya bertanya “dimana Allah, Bunda?”. Apabila seorang ibu kurang dalam berilmu maka bisa saja dia akan menjawab “Allah ada dimana-mana” atau “Allah ada di hati kita” dan semisalnya. Padahal telah jelas dalil yang mengatakan bahwa Allah ada di atas langit, sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat Al Qur’an berikut ini..
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu… Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu.” (QS Al Mulk: 16-17).
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (QS As Sajdah: 5).
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit…” (QS Al Mulk: 16-17).
Dan juga terdapat dalam satu Hadits..
Di dalam Shohih Muslim, dan Sunan Abi Daud, Sunan An Nasa`i, dan lainnya dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami, ia berkata: Aku punya seorang budak yang biasa menggembalakan kambingku ke arah Uhud dan sekitarnya, pada suatu hari aku mengontrolnya, tiba-tiba seekor serigala telah memangsa salah satu darinya -sedang aku ini seorang laki-laki keturunan Adam yang juga sama merasakan kesedihan- maka akupun amat menyayangkannya hingga kemudian akupun menamparnya (menampar budaknya, pent.), lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian itu padanya. Beliau membesarkan hal itu padaku, aku pun bertanya, “Wahai Rosulullah apakah aku harus memerdekakannya?” Beliau menjawab, “Panggil dia kemari!” Aku segera memanggilnya, lalu beliau bertanya padanya, “Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” “Siapa aku?” tanya Rosul. “Engkau Rosulullah (utusan Allah)” ujarnya. Kemudian Rosulullah berkata padaku, “Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang mu`min.”
Sungguh, dari dua hal tersebut di atas saja kita dapat menyadari betapa pentingnya ilmu bagi para ummahat, dan betapa meruginya jikalau lalai dalam berilmu. Dan jangan lupa bahwa nantinya kita akan dimintai pertanggungjawaban dalam mengelola urusan rumah tangga termasuk salah satunya pendidikan anak.

Hadis riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu:
Dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam. bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. (Shahih Muslim No.3408)
Ya, smoga kita dapat mempertanggungjawabkan dengan baik  di hadapan Allah mengenai kepemimpinan kita dalam mengelola rumah tangga, khususnya dalam hal mendidik anak-anak kita. Wallahul musta’an.